Teringat peristiwa di SMA, saat
salah satu teman sekelas saya laki-laki, telat masuk ke kelas setelah jam
istirahat. Dia pun tak bisa langsung duduk, karena sang guru yang kebetulan
sudah memulai pelajarannya merasa harus menahannya dulu dan melakukan
interogasi.
“kamu, kenapa baru masuk, nggak
dengar suara bel masuk?” kata sang guru berakting garang
“dengar pak.” jawab teman saya patuh
“lantas?” sang guru meminta
penjelasan.
“ maafkan saya pak, saat itu saya
baru saja selesai wudhu ketika bel tanda masuk berbunyi, saya mau dhuha,
kepalang tanggung saya teruskan shalat dulu. Maafkan saya pak.”
“kamu shalat dan juga makan dalam
waktu 15 menit?”
“iya pak”
“kamu harusnya bisa mengatur waktu,
15 belas menit istirahat pertama jika memang ingin kamu gunakan untuk shalat dhuha
ya makannya di 15 menit istirahat kedua.”
“iya pak, maafkan saya, saya
lapar belum sarapan.”
“sholat itu kan nomer dua toh.” Kata
sang guru sambil menatap kami.
Sontak kami pun kaget dan saling
berpandangan, termasuk teman saya yang sedang ditanyai itu, terlihat sekali dia
tidak setuju. Melihat reaksi kami, sang gurupun melanjutkan perkataannya.
“iya sholat itu nomer dua. Coba kamu
sebutkan rukun islam nomor dua?” sang guru bertanya pada teman saya itu.
“shalat pak.” Jawab teman saya
terbata, “tapi pak...” katanya menggantung, sepertinya ingin menyanggah
pernyataan itu tapi tak tahu dengan apa.
“nah...yang pertama itu syahadat.
Yang kedua itu shalat. Shalat itu nomer dua.” Kata sang guru sambil menyapukan
pandangan kepada kami yg keberatan tapi tak tahu harus berargumen apa. “shalat
itu yang kedua, tapi shalat itu yang utama. Yang utama. Karena fungsinya
sebagai tiang agama, yang menegakkan agama.”
Kami pun tersenyum mengerti
begitupun teman saya yang masih berdiri di depan. Merasa malu karena sempat
berpikir yang tidak-tidak tentang guru kami.
“yasudah kamu boleh duduk. Kita
mulai lagi pelajarannya” katanya.
Begitulah kadang diri kita ini,
tak mendengarkan dengan lengkap dan sering tergesa membuat asumsi atau menarik
kesimpulan. Lebih parahnya lagi, sering kali kita bagai petasan bersumbu
pendek, lekas emosi namun tak punya ilmu tentang apa yang kita pertahankan. Betul
menurut pepatah, kita dikaruniai satu mulut dan dua telinga. Perbanyak lah
mendengarkan ilmu, sedikitlah berbicara yang tak perlu.
Cerita di atas masih dalam
lingkup sekolah, nah gimana kalau lingkup negara. Bahaya kan. Banyak deh kasus
kerusuhan karena pasti awalnya adalah tak lengkap mendengarkan, tak paham apa
yang diperbincangkan.
“Dan apabila datang kepada
mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah Karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali
sebahagian kecil saja (di antaramu)”. (QS : An Nisa : 83)
Dengarkan dengan lengkap, yang lengkap itu yang gimana. Yang lengkap
adalah yang mengandung ilmu. Disampaikan oleh orang yang berimu. Jadi kalau
berita duka jelas dukanya, kalau tentang kebahagiaan jelas bahagianya, kalau
tentang duit jelas duitnya, kalau tentang pelamaran jelas pelamarnya hehehe
(dasar usia galau ^_^). Insya Allah kalau pada begini nih umat manusia, angka
percekcokan, permusuhan, perkelahian, persumbu pendekan, dan per-an per-an
negatif yang lain akan berkurang drastis. Wallahualam bishawab.