Rabu, 01 Januari 2014

Dengarkan Dengan Lengkap

Teringat peristiwa di SMA, saat salah satu teman sekelas saya laki-laki, telat masuk ke kelas setelah jam istirahat. Dia pun tak bisa langsung duduk, karena sang guru yang kebetulan sudah memulai pelajarannya merasa harus menahannya dulu dan melakukan interogasi.

“kamu, kenapa baru masuk, nggak dengar suara bel masuk?” kata sang guru berakting garang

“dengar pak.” jawab teman saya patuh

“lantas?” sang guru meminta penjelasan.

“ maafkan saya pak, saat itu saya baru saja selesai wudhu ketika bel tanda masuk berbunyi, saya mau dhuha, kepalang tanggung saya teruskan shalat dulu. Maafkan saya pak.”

“kamu shalat dan juga makan dalam waktu 15 menit?”

“iya pak”

“kamu harusnya bisa mengatur waktu, 15 belas menit istirahat pertama jika memang ingin kamu gunakan untuk shalat dhuha ya makannya di 15 menit istirahat kedua.”

“iya pak, maafkan saya, saya lapar belum sarapan.”

“sholat itu kan nomer dua toh.” Kata sang guru sambil menatap kami.

Sontak kami pun kaget dan saling berpandangan, termasuk teman saya yang sedang ditanyai itu, terlihat sekali dia tidak setuju. Melihat reaksi kami, sang gurupun melanjutkan perkataannya.

“iya sholat itu nomer dua. Coba kamu sebutkan rukun islam nomor dua?” sang guru bertanya pada teman saya itu.

“shalat pak.” Jawab teman saya terbata, “tapi pak...” katanya menggantung, sepertinya ingin menyanggah pernyataan itu tapi tak tahu dengan apa.

“nah...yang pertama itu syahadat. Yang kedua itu shalat. Shalat itu nomer dua.” Kata sang guru sambil menyapukan pandangan kepada kami yg keberatan tapi tak tahu harus berargumen apa. “shalat itu yang kedua, tapi shalat itu yang utama. Yang utama. Karena fungsinya sebagai tiang agama, yang menegakkan agama.”

Kami pun tersenyum mengerti begitupun teman saya yang masih berdiri di depan. Merasa malu karena sempat berpikir yang tidak-tidak tentang guru kami.

“yasudah kamu boleh duduk. Kita mulai lagi pelajarannya” katanya.

Begitulah kadang diri kita ini, tak mendengarkan dengan lengkap dan sering tergesa membuat asumsi atau menarik kesimpulan. Lebih parahnya lagi, sering kali kita bagai petasan bersumbu pendek, lekas emosi namun tak punya ilmu tentang apa yang kita pertahankan. Betul menurut pepatah, kita dikaruniai satu mulut dan dua telinga. Perbanyak lah mendengarkan ilmu, sedikitlah berbicara yang tak perlu.

Cerita di atas masih dalam lingkup sekolah, nah gimana kalau lingkup negara. Bahaya kan. Banyak deh kasus kerusuhan karena pasti awalnya adalah tak lengkap mendengarkan, tak paham apa yang diperbincangkan.

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri). kalau tidaklah Karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”. (QS : An Nisa : 83)

Dengarkan dengan lengkap, yang lengkap itu yang gimana. Yang lengkap adalah yang mengandung ilmu. Disampaikan oleh orang yang berimu. Jadi kalau berita duka jelas dukanya, kalau tentang kebahagiaan jelas bahagianya, kalau tentang duit jelas duitnya, kalau tentang pelamaran jelas pelamarnya hehehe (dasar usia galau ^_^). Insya Allah kalau pada begini nih umat manusia, angka percekcokan, permusuhan, perkelahian, persumbu pendekan, dan per-an per-an negatif yang lain akan berkurang drastis. Wallahualam bishawab.